Cool Social Media Sharing Touch Me Widget by Blogger Widgets

Home » » Pace

Pace

Tak banyak buah yang punya pengalaman buruk seperti pace. Sebelum tahun sembilan puluhan, buah yang biasa disebut mengkudu ini nyaris tak punya kebanggaan sedikit pun. Jangankan manusia, kelelawar pun tak sudi mencicipi. Selain baunya apek, rasanya pahit. Pahit sekali!
Belum lagi dengan bentuk buah yang aneh. Bulatnya tidak rata, dan kulit buah ditumbuhi bintik-bintik hitam. Warnanya juga tidak menarik. Mudanya hijau, tuanya pucat kekuning-kuningan. Berbeda jauh dengan apel, jeruk, mangga, dan tomat. Selain kulitnya mulus, warnanya begitu menarik: hijau segar, merah, dan orange.
Sedemikian tidak menariknya pace, orang-orang membiarkan begitu saja buah-buah pace yang sudah masak. Pace tidak pernah dianggap ketika muda, tua; dan di saat masak pun dibiarkan jatuh dan berhamburan di tanah; membusuk, dan kemudian mengering. Pace sudah dianggap seperti sampah.
Kalau saja pace bisa bicara, mungkin ia akan bilang, "Andai aku seindah apel merah. Andai aku seharum jeruk. Andai aku semolek tomat!" Dan seterusnya.
Perubahan besar pun terjadi di tahun sembilan delapan. Seorang pakar tumbuhan menemukan sesuatu yang lain dari pace. Kandungan buahnya ternyata bisa mengobati banyak penyakit: kanker, jantung, tulang, pernafasan, dan lain-lain. Orang pun memberi nama baru buat pace, morinda citrifolia.
Sejak itu, pace menjadi pusat perhatian. Ia tidak lagi diacuhkan, justru menjadi buruan orang sedunia. Kini, tidak ada lagi pace masak yang dibiarkan jatuh dan berhamburan. Ia langsung diolah dengan mesin canggih higienis, dan masuk golongan obat mahal. Kemuliaan pace sudah jauh di atas apel, jeruk, apalagi tomat.

***
 
Jalan hidup kadang punya rutenya sendiri. Tidak biasa, lompat-lompat, curam dan terjal. Seperti itulah ketika realitas kehidupan memperlihatkan detil-detilnya yang rumit.
Di antara yang rumit itu, ada kebingungan menemukan tutup peti potensi diri. Semua menjadi seperti misteri. Ada yang mulai mencari-cari, membongkar peti; bahkan ada yang cuma menebak-nebak sambil tetap berpangku tangan. Dalam keputusasaan, orang pun mengatakan, "Ah, saya memang tidak punya potensi." Seribu satu kalimat pengandaian pun mengalir: andai saya...andai saya...andai saya, dan seterusnya.
Kenapa tidak berusaha sabar dengan terus mencari-cari pintu peti potensi. Kenapa tidak mencari alat agar peti bisa terbongkar. Kenapa cuma bisa menebak kalau peti potensi tak berisi. Kenapa cuma diam dan menyesali diri. Padahal boleh jadi, kita bisa seperti pace yang punya potensi tinggi. Sayangnya belum tergali.

Ferry NurdiantoDitulis Oleh : Ferry Nurdianto

Artikel Pace, diterbitkan oleh Unknown pada hari 28 November 2009. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste / menyebar luaskan artikel ini, namun anda harus meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.

0 komentar:

Posting Komentar

Jika ada pertanyaan, saran, kritik dan masukan tentang Artikel di Blog ini, silahkan tinggalkan pesan di kotak komentar, secepatnya Admin Kami akan menanggapi. Tolong berkomentarlah dengan kata-kata yang baik, sopan dan jelas. Komentar, pesan yang berulang akan dianggap Spam, dan Kami akan menghapusnya. Terimakasih atas kunjungan Anda.